NOVEL | BERITA A1
Sebuah perjalanan hidup yang dialami oleh sebagian rakyat jelata yang dipinggirkan, dan kali ini dimuat dalam novel “Au He Moin” (Aku Ingin Hidup). Oleh Eppy Manu.
Sekapur Sirih
Novel ini aku persembahkan sebagai bukti jika kita sudah sedikit tidak bersahabat dengan lingkungan ini, semua berawal dari rasa tidak puas dengan apa yang dimiliki dan akan selalu mencari kepuasan terus menerus tanpa berpikir bahwa saudara di samping kita sangat bergantung pada lingkungan itu. Suara suara kesederhanaan diambil dari dinamika bangsa yang real atau nyata di hadapan kita, bukan melalui mimpi. Suara ini benar-benar keluar dari lubuk hati, sebagai makluk yang sosialita. Ketika berhadapan dengan dinamika yang benar-benar terjadi dan mengakibatkan luka yang mendalam. Suatu bangsa yang besar sewajarnya perlu untuk menata kehidupan masyarakatnya agar mampu hidup dalam kesejahteraan. Tanpa menyebabkan ketimpangan disalah satu batang tubuh bangsa itu sendiri. Ditinjau dari beberapa aspek kehidupan bernegara maka penulis ingin mengajak pembacanya untuk lebih melihat ke dalam, bahwasannya masih ada ketimpangan besar yang perlu untuk disikapi. Penulis juga ingin berterimakasih kepada seluruh sahabat-sahabat yang dengan giat membantu penulisan novel ini terselesaikan dengan baik. “ persembahan khusus untuk keluargaku yang selalu mendukung penulis dalam berkarya, dan juga untuk seseorang yang selalu mengispirasiku, dan mencintaiku, serta selalu mendukungku dalam berkarya”. Dalam penulisan ini, penulis ingin berterimakasih untuk sahabat seperjuangan yang telah membesarkan penulis di dunia keorganisasian. Sahabat Ibnu Rusid, Senior Jack, bersama ibunda tersayangnya, Senior Dahrul, Senior Sayidati Hajar, dan masih banyak teman seperjuanganku yang tidak bisa saya sebut satu persatu, salam satu pergerakan yaitu Gaharu Institute NTT, dan Mata Kupang. Bagian dari wadah yang membesarkan penulis hingga mampu beride dalam pergerakan. Tak lupa aku ingin berterimakasih kepada teman sejawatku, abang Yan, yang selalu memberikanku nuansa baru dalam menulis, selalu memberikanku motivasi dan selalu menemaniku dalam menitik karirku di dunia menulis Komunitas Kaki Kareta, sebagai suatu wadah untuk penulis berjuang menggapai impian, suatu wadah yang inpspiratif. Terutama terimakasihku untuk semua anggota badan pengurus komunitas yang memberi semangat dalam menulis hingga terselesainya novel ini dengan baik. Bung Dion yang selalu memberiku nuansa baru dalam menulis, sosok yang selalu memberiku semangat Tak ada gading yang tak retak maka, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam novel ini, sehingga penulis sangat mengharapkan kritikan dan masukan yang membangun untuk penulisan selanjutnya. Kupersembahkan untuk kekasihku Lodia Marisa Jermias, Rindu ini untukmu. MENCINTAI NASIB Suasana pagi ini sangat cerah dengan sinar matahari yang menembus pohon-pohon pinus di lereng bukit itu. Suara burung-burung memanggil lara yang sedang jenuh. Alam begitu riang pagi itu, entah karna apa, dari kejauhan terdengar suara siulan putus-putus yang jika diperhatikan siulan itu keluar dari gubuk bambu kecil yang sedikit miring sehingga harus menambah kayu di sekujur tiang-tiang penyangggah. Pagi ini seorang kakek tua yang akhir-nya diketahui bahwa kakek itulah yang bersiul menyambut pagi dengan suara siulan yang terputus itu, sosok yang begitu lemah menyiapkan alat kebunnya, siap untuk berangkat mengais nafkah di ladang milik tetangga demi menghidupi keluarga kecilnya itu. Isrtinya seorang kuli cuci yang setiap hari bergerak dari rumah ke rumah menawarkan jasa dengan harga semangkuk nasi putih dibubuhi sayur acar. Mereka memiliki lima orang anak tapi keempat anaknya meninggal semenjak masih kanak-kanak dikarenakan diserang penyakit. Sehingga hanya meninggalkan seorang laki-laki kecil berumur kira-kira dua belas tahun yang katanya hanya menempuh bangku Sekolah Dasar kelas dua, ia terpaksa tidak bersekolah karena harus membantu ayahnya. Dan sesekali harus bermain dengan segudang sampah yang sedikit membawa rejeki, walau harus berpapasan dengan bau yang menyengat hidung, dan kaki tak beralaskan sandal, setiap hari kerjanya menyusuri setiap pinggiran pasar dan pertokoan, yang gedungnya menjulang tinggi berjejeran rapi seperti pasukan tentara yang siap menyerang. Semenjak berdirinya gedung-gedung itu masyarakat di sekitar sudah beralih profesi, yang awalnya adalah petani sawah yang menghasilkan berton-ton beras namun kini harus mengurung kembali kenangan itu dan kini harus berhadapan dengan lalat, sampah, dan bau mesin jalanan. Air yang dulunya jernih sekarang sudah termakan oleh hasil buangan gedung-gedung tinggi itu. Dulu, menurut tutur si kakek tua itu mereka memiliki sebuah rumah di bawah gedung yang paling tinggi itu. Sambil jari keriputnya menunjuk pada gedung itu, gedung sebuah perusahaan besar yang omsetnya bermiliar-miliar, diselingi dengan suara yang putus-putus, entah kakek itu berkata apa. Namun, dilihat dari wajah yang sudah berkeriput itu seperti terdapat sebuah penyesalan yang mendalam. Memang nasib manusia selalu penuh dengan misteri, dunia sekarang dijajah oleh penguasa yang dengan semena-mena menindas yang terpinggirkan. Persaingan demi persaingan dilakukan untuk menyenangkan hati tanpa melihat efek apa yang terjadi pada mereka yang tidak tau tentang apapun itu. Mereka yang sehari-hari menafkahi hidup dengan berjuang dalam kesederhanaa harus mengakhiri perjuangan mereka karna kecongkakan penguasa yang tak pernah pudar. Suara teriakan mereka hanya sebuah lelucon atau permainan drama yang dilakoni oleh manusia berbayang maut. Yang akhirnya pelakon itu harus mengalah dan mencari suaka baru walau harus meninggalkan luka dan kenangan. Pagi ini anak separu baya itu menyiapkan sebuah kantong hitam berdebu, wajah ofal dengan rambut sedikit berombak tak terurus, memakai baju yang sudah kusam, dan disamping lengan bajunya terdapat lubang mungkin termakan binatang kecil, ataukah....... Anak itu memakai celana pendek hitam yang jika diperhatikan sudah disulam bagian pantatnya, yaaah.....mungkin itu dilakukan ibunya untuk menutup aurat anaknya. memang semalam kota itu diguyur hujan yang begitu deras. Anak itu mulai berjalan sempoyongan, karna hasil pikulan yang sudah melebihi berat yang sewajarnya mampu untuk dipikul oleh anak seusianya. Tak pernah berpikir untuk lelah, mungkin dalam pikirannya akan mendapatkan imbalan yang besar, sehingga dapat membantu orang tuanya untuk bertahan hidup dalam beberapa hari kedepan. Lorong kecil sudah berada di depan mata, panjang lorong itu kira-kira 100 meter, jalannya dipenuhi dengan kubangan air bekas hujan semalam, disamping kiri dan kanan, gedung bertingkat menjulang tinggi seakan menatap sianak kecil itu yang berjalan sempoyongan memilikul hasil keringatnya sehari. Di ujung gedung itu masih ada bekas fondasi rumah yang dulunya dibangun untuk sebuah klinik kesehatan bagi warga yang disponsori oleh sebuah yayasan kesehatan. Sedangkan rumah anak itu berada bersebelahan dengan klinik kesehatan tersebut yang kini berubah menjadi sebuah apartemen megah milik seorang pengusaha Atau karena berpikir harus membayar cicilan perbulan di Bank tempat pinjaman sehingga untuk mengurus keromolan tempat berjualannya harus menambah biaya pengeluaran yang begitu banyak.... Anak itu mengetuk beberapa kali sambil kepalanya melihat lewat sebuah lubang kecil, dan sesekali agak gelisah, mungkin pembeli barang rongsokan tersebut sedang tidak ada dirumah atau sedang keluar. Anak itu terus saja mengetuk hingga terdengar langkah kaki dari dalam yang keluar dengan cepat membuka pintu pagar tua itu, terlihat wajah yang sedikit berumur, yahhh mungkin sekitar empat puluh-an, wajah yang ofal dengan tato di lengannya dan berambut panjang membuat suasananya seperti berada di kandang harimau. ... Ooohh iya, kamu. Mari masuk....... Anak itu melangkahkan kakinya dengan terkopoh- kopoh menuju ruangan barang timbangan. Ade silahkan mana barangnya..... Suara yang sedikit bergetar, mungkin karena selalu mengkonsumsi rokok kretek. Anak itu dengan perlahan memindahkan barangnya pada bak timbangan.. Dua kilo setengah.... Suara yang sedikit rendah sambil melihat pada angka-angka yang selisih setengah ons itu Dibulatkan dua kilo anak...... owwhh iya pak, terimakasih, segera orang itu menuju lemari kasir sambil melihat-lihat anak kecil itu, mari anak...... anak itu sedikit mendekat dengan wajah yang diam seakan berpikir berapa hasil yang bisa didapat. Lalu kakek itu menyodorkan uang sebesar sepuluh ribu rupiah sambil tersenyum, serentak anak itu menyodorkan tangannya menerima uang itu penuh dengan bahagia... Tidak menunggu lama lagi, anak itu bergegas pamit, pak terimakasih, saya pamitan dulu...ia adek terimakasih suara yang sedikit berserak membalas, disambung dengan senyuman tipis yang Nampak dari wajah tua itu. Anak itu segera menuju pagar besi tua itu, lalu menarik pagar dengan sedikit mengeluarkan tenaga wajahnya diangkat sedikit, sambil melihat gedung-gedung bertingkat yang menjulang tinggi sambil melepas angan....... ahhh entah apa yang ada dalam benaknya. Mungkin ia berpikir dengan uang ini ia bisa membeli sekilo beras atau mungkin sedikit untuk membeli jajanan kecil di pinggiran sekolahnya dulu, ataukah mungkin apa yang sedang ia pikirkan Langkah kaki kecil itu sesekali disentakkan pada genangan air dilorong itu sehingga menimbulkan sedikit percikan ke tembok tembok gedung bertingkat disamping kiri dan kanannya, sambil tersenyum melepaskan tawa kecil. Ahli psikologi sering mengatakan Hal itu identik dilakukan oleh anak-anak seumuran dia, sebagai luapan kegembiraan akan kebebasannya dalam mengekspresikan sesuatu. Si ibu hari itu berkeliling di sekitar lorong panjang perumahan indah milik para kandidat bermodal tinggi, tempat itu dulunya adalah sebuah lapangan kecil tempat anak-anak kecil bermain layangan, dan sepak bola serta tempat berkumpulnya orang-orang jika ada kegiatan dari Kabupaten. Sosok ibu yang sekarang sudah sedikit membungkuk, dengan wajah yang sudah sedikit keriput, berambut uban dengan tahi lalat besar di bagian kanan pipinya. Hari ini dia memakai sebuah baju berwarna kuning kecoklatan, namun jika diperhatikan baju itu berwarna kecoklatan bukan karena buatan pabrik. Namun, karena termakan waktu. Sebuah kain usang dipinggangya diikat rapi, menggambarkan nuansa muda yang dulunya adalah seorang gadis cantik dengan penampilan yang menarik sehingga menggoda hati para pria. Mungkin karna kerapiannya dan kecantikan dulunya itu yang membuat si kakek tua mengambil dia menjadi seorang istri. Hari ini ia melangkah perlahann sambil menunduk, kadang wajahnya diangkat dan memandang di samping kiri dan kanan perumahan mahal tempat para kandidat bermodal tinggi bercengkrama dengan hari dan waktu bersama keluarga. Dari kejauhan ada sebuah rumah mewah tempat yang biasanya selalu menawarkan jasa ibu itu untuk mencuci pakaian- pakaian kotor bekas seminggu bekerja. Langkah kakinya berhenti di depan pintu pagar setinggi dua meter, dengan wajah yang sudah berkeringan mengangkat tangannya dan menekan bell, untuk memanggil seorang petugas membuka pintu itu, jelang beberapa menit, seorang petugas membuka pintu pagar itu dan menyuruh ibu itu untuk masuk. Hari itu sekitar pukul sepuluh. “Silahkan ibu, tuan menunggu ibu di dalam”.Kata si penjaga itu. Dengan wajah yang menunduk ibu itu bergegas pergi menemui tuan itu, dari kejauhan tuan itu sedang duduk di teras rumahnya sambil memegang sebuah koran sedang disampingnya secangkit minuman hangat sebagai sarapan pagi, memang itu selalu dilakukan setiap pagi. Ibu itu mendekat dan berkata, “permisi tuan, apa hari ini ada cucian yang ingin dicuci?” tuan itu masih tidak menjawab, mungkin karna berita di dalam koran hari itu sangat bagus ataukah pura-pura tidak mendengan, jika beritanya sangat bagus, paling-paling berita itu berisi tentang seorang penjabat tinggi ditangkap KPK karna mengelabui uang negara sehingga menyebabkan kerugian Negara hingga triliunan. Atau mungkin berita perampokan, kebakaran, atau pemerkosaan. “Pergi ke dalam”... Suara yang sedikit keras, membuat ibu itu langsung dengan cepat pergi ke dalam rumah itu tanpa menegurnya. Mungkin karena ibu itu menggangu waktunya. Hari itu si ibu mendapatkan cucian yang sedikit menguras tenaganya, dengan tenang ibu itu melakukan tugasnya, sambil berharap semoga hari ini bisa menjadi hari yang baik. Setelah selesai melakukan tugasnya ibu itu segera menuju sebuah taman di samping rumah, disana seorang perempuan cantik yang jika dilihat perempuan itu adalah istri si tuan yang sedang membaca koran. Rambut panjang menghiasi bahunya dengan wajah cantik yang jika dilihat sepertinya seorang perempuan berdarah asing, yang pastinya bukan dari Negara kita. “Permisi tuan, cucian sudah dijemur” ibu itu dengan tunduk dan sedikit malu mengucapkan kalimat itu... beberapa saau perempuan itu memalingkan wajahnya dan melihat ibu itu sambil berkata “oohh iya Tunggu sebentar. Perempuan itu bergegas masuk dan mengambil selembar kertas kecil dan menyodorkannya pada ibu itu sambil berkata”terimakasih, minggu depan datang lebih awal karna saya akan keluar bersama keluarga untuk berlibur.. Dengan menunduk ibu itu berkata,”baik tuan” sambil meminta pamit. Waktu menunjukan pukul dua belas, ibu itu bergegas meninggalkan rumah mewah itu. Wajah yang sedikit bergembira karna hasil yang didapat sedikit memuaskan hati. Dua puluh ribu, ibu itu berbisik dalam hati sambil melangkah meninggalkan rumah mewah itu. Langkah kakinya berhenti pada sebuah kios kecil di pinggiran kota itu, kira kira berjarak dua kilo dari rumah mewah itu, dan tiga kilo dari gubuk tempat tinggalnya. Cuaca hari itu sedikit mendung, hujan semalam masih meninggalkan bekas genangan air di setiap pinggiran jalan. Ia melangkahkan kaki memasuki sebuah kios, ia keluar dengan membawa sekantong beras dan sedikit perlengkapan rumahan, Ditangannya masih meninggalkan beberapa rupiah untuk disimpan. mungkin beberapa hari kedepan jika ada keperluan maka masih bisa untuk digunakan. Hari mulai sore ia melangkahkan kaki lebih cepat karena sang suami, si kakek tua itu pasti sudah menunggu, seperti biasa setiap sore suaminya itu selalu menyuruh untuk membuatnya teh hangat. Kakek itu bercerita bahwa semasa muda istrinya itu sangat pandai membuat teh hangat, “istriku itu semasa muda sangat pandai membuat teh hangat, dan sangat pandai memasak, itulah salah satu yang membuat saya mencintai dia” Suara yang sedikit parau sehingga ejaan kalimatnya harus didengar dengan teliti. Sore ini cuaca sedikit cerah walau masih ada awan-awan gelap bergelantungan di angkasa menghiasasi sore itu. Sehingga suasana jalan sempit berbatu menuju rumahnya seakan dihiasi dengan warna warna orange bekas pantulan cahaya matahari sore. Dari kejauhan suaminya sudah menunggu, suaminya adalah seorang kuli kebun, dikarenakan lahan mereka sudah diambil oleh mereka yang memiliki banyak kemampuan untuk membuat segala sesuatu bisa jadi milik mereka. Setiap subuh ia sudah menyiapkan alat cangkul dan beberapa peralatan kebun untuk berkebun, gajinya dihitung setiap bulan dengan harga lima kilo beras. Dan jika di musim panen selalu majikan pemilik lahan tersebut selalu menambahkan sedikit pendapatannya sehingga kakek tua itu bisa bertahan kerja walau umurnya sudah tidak wajar lagi untuk bekerja. . Senyuman yang selalu menemaninya ketika sore hari disaat melepas lelah di sotoh depan gubuk itu, mungkin itulah cara yang paling tepat dan indah untuk membakar keresahannya ketika bermain dengan waktu. Istrinya langsung menyapa dan meneruskan langkahnya ke dapur untuk mempersiapkan makan malam. Anaknya sedang berada di dalam kamar sambil menghitung pendapatannya hari itu. Pandangan kakek tua itu kadang menatap jauh ke kota, memang lokasi gubuknya sangat strategis, karena berada di bawah lereng bukit sehingga suasana sore sangat indah untuk dinikmati. Sesekali mulut kakek itu bergerak, mungkin sedang membaca apa atau mungkin sedang menghitung hari kapan upah dari kerjanya diberi. Malam ini menu makan mereka adalah nasi putih dengan lauk kangkung ditumis dan tempe goreng, hasil belanja istrinya siang itu. Berapa saat kemudian suara dari dalam rumah memanggil. ”bapak mari makan”. Kakek itu bergegas masuk menemui suara yang memanggil. Sebuah tempat nasi, dengan sayur yang telah diramu begitu lesat sudah disimpan di selembar tikar kusam yang biasa disiapkan untuk menyimpan makanan. Anaknya duduk di ujung tikar itu, sedang kakek tua itu duduk bersilang di samping tikat itu mendampingi sang istri. Suara kembali hening ketika ayat ayat doa dipanjatkan kepada Yang Kuasa meminta agar makanan hari ini bisa menjadi berkat dan kesehatan untuk bertahan di dunia yang penuh dengan kekacauan ini. Malam semakin larut, suara binatang malam semakin jelas mengeluarkan lantunan yang begitu merdu menemani makan malam mereka, kadang mereka bercakap-cakap sambil melepas senyum. Kadang terdiam sambil menikmati makanan yang sudah tersaji di dalam piring kecil berwarna putih itu. Hari ini mereka telah lalui dengan penuh rasa syukur, memang itu yang selalu meraka lakukan setiap saat, menikmati hari tanpa kejenuhan sambil menunggu takdir yang memanggil. Tak ada satu orangpun yang mengunjungi mereka, setahun sekali disaat sensus penduduk dijalankan. Itupun hanya pegawai lapangan biasa yang menemui mereka. Dan selalu berganti ganti pegawai setiap tahun. Mungkin ketika selesai menggunakan tenaga mereka, langsung di ganti dengan pegawai baru. Atau yang biasa disebut dengan system kontrak. Yaa... sistem kontrak. Setelah menikmati makan malam keluarga kecil itu langsung melepas penat sambil menunggu harapan baru di pagi yang cerah, yang mungkin akan ada mujizat dari Yang Kuasa. Memberi mereka sedikit rejeki untuk menantang keganasan dunia ini. Itu yang mungkin selalu dipikirkan oleh kakek tua itu di setiap sore ketika berada di sotoh rumah itu, disaat mulutnya bergerak entah berkata apa. Malam yang indah ditemani dengan suara binatang-binatang malam yang begitu merdu membuat suasana malam terasa bernostalgia dengan kenangan........ Hari ini cerah sekali, lalu-lintas pusat kota begitu ramai, dari pejalan kaki, pengguna kedaraan pribadi maupun umum bergonta-ganti seperti jejeran semut yang berpindah mencari suaka baru. Deretan penjual kaki lima memenuhi bahu-bahu jalan, menjajakan hasil jualan yang dibuat semalam, daerah pasar dipenuhi dengan manusia dari berbagai penjuru, dari yang anak-anak sampai kakek nenek. Wajah yang beraneka rupa menghiasi suasana yang begitu kumuh. Sayur, pakaian dan masih banyak lagi beregelantungan seperti daun daun kering yang tinggal menanti angin harapan meniup dan jatuh entah kemana, ada yang di halam rumah, selokan, trotoar bahkan di jalanan sehingga digilis kendaraan dan akhirnya meninggalkan kenangan bahwa pernah ia berada di sebuah dahan yang kokoh. Beberapa anak bermain bola di samping bahu jalan, bergelut dengan debu jalanan, tanpa beralaskan sendal, dengan ceria memainkan kaki pada bulatan bola itu yang dipindahkan dari kaki ke kaki, membentuk tarian acak, namun kadang harus keluar dari genggaman kaki dan mengenai pengguna jalan. Ada yang langsung mengeluarkan makian pada anak-anak itu, ada pula yang langsung menyeret bola itu dan akhirnya hanya lah sobekan kecil yang didapat oleh anak-anak itu, namun adapula yang hanya tersenyum dan lalu begitu saja. Memang karakter manusia tidak selalu sama, seperti yang ada pada Bangsaku, dari penguasa yang bengis hingga yang bijaksana, dari penjahat hingga dermawan bercampur baur menjadi satu sehigga tidak dikenal mana yang baik dan mana yang jahat. keramaian pusat kota digunakan oleh berbagai macam manusia, dari pencopet hingga pengemis beredar seperti butiran pasir yang lepas dari tembok pembatas kota yang dibuat oleh pemerintah sebagai tanda akhir sebuah tempat. Di gubuk itu, masih seperti biasa, keluarga kecil dengan hidup dalam kesederhanaan, berusaha untuk bertahan hidup di tengah morat-maritnya ekonomi. Anak seumuran dia yang harusnya bersekolah namun, semua itu ia kubur dalam-dalam, mungkin dalam benaknya ia pernah berpikir mengenai cita-citanya, karna semasa sekolah sudah menjadi kewajiban untuk setiap guru bertanya tentang cita-cita di masing-masing murid dan mungkin dia adalah salah satunya yang pernah ditanyai oleh gurunya. Sebuah mobil mewah berjalan perlahan dan berhenti tepat di pintu gerbang sekolah itu, dari dalam mobil itu seorang bapak yang sedikit tua mengeluarkan kepalanya sambil melihat-lihat di sekitar sekolah itu. Sekolah itu adalah sekolah yang didirikan oleh masyarakat sekitar agar bisa membantu anak mereka untuk mendapatkan pendidikan. Memang dulu pernah ada sekolah yang bagus di kampong mereka, namun telah diambil oleh penguasa dan dijadikan sebuah hotel. Sehingga ketika mereka diusir keluar dari tanah mereka dan berpindah di lereng bukit itu, kepala desa dan beberapa tokoh adat bersepakat untuk membangun sebuah sekolah untuk anak-anak mereka. Hal itu disepakati bersama sehingga saat ini anak-anak mereka sudah bisa bersekolah, walau untuk tenaga guru masih sangat minim dan pembayaran gaji guru masih menggunakan hibah dari masyarakat desa itu. Hanya sekedar melihat, lalu mobil itu segera bergegas meninggalkan pintu gerbang itu, beberapa guru duduk di depan kantor sambil bercakap-cakap. Kadang melihat ke depan pintu pagar, dan kadang melihat ke kelas-kelas, sedang di luar anak anak saling bercengkrama, berlarian kesana-kemari, ada juga yang berkumpul sambil berserita, seperti tidak berpikir kalau suatu saat sekolah tersebut harus beralih menjadi sebuah gedung. Entahlah akan dijadikan gedung apa. Di dalam kelas ada guru-guru yang dengan giat mengajar siswa-siswa membaca, menulis, menghitung, dan masih banyak lainnya, mereka berpikir tentang upah yang didapat, namun dengan satu komitmen, mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebuah pekerjaan yang sangat mulia. Udara siang itu sedikit mengeluarkan keringat, debu beterbangan kesana-kemari membuat beberapa anak yang sedang bercengkrama harus berlari berhamburan untuk menghindari debu itu. Bapak ibu guru yang sedang asik bercerita harus mengubah arah duduk mereka untuk tidak terhirup debu. Memang siang itu sangat cerah walaupun beberapa hari yang lalu kampung itu diguyur hujan yang begitu deras. Memang alam sudah menandakan tidak bersahabat dengan manusia. Semua itu karena ulah manusia itu sendiri. Selain itu, bangsa kita sudah dininabobohkan dengan pembangunan yang berkepanjangan, tanpa berpikir tentang masalah yang akan ditimbulkan. Dari reklamasi, hingga penggusuran pemukiman warga membuat suasana semakin tidak membaik. Memang jika ditinjau dari beberapa aspek bisa menguntungkan, tapi semua itu ada akibat yang merusak juga, dan itu selalu disepelehkan. Artinya disini bahwa kita semakin tidak sadar akan dampak dari kelanjutannya. Dan selalu yang mendapatkan akibatnya adalah masyarakat pengguna sarana. Adapula karna keteloran masyarakat dalam menjaga keasrian alam, sebagai contoh kecil, jarang membuang sampah pada tempatnya, selalu menggunakan tempat aliran air sebagai akhir dari masalah pembuangan sampah. Maka jika ditinjau dari beberapa hal tersebut, perlu ada sikap rasa sadar akan alam dan lingkungan sekitar antara elemen pembuat kebijakan dan penikmat kebijakan itu sendiri. Hari semakin sore. Kakek tua itu masih melakukan aktifitasnya di sebuah ladang milik tetangganya, sedang si-ibu mempersiapkan diri menyambut suami tercintanya kembali. Anak mereka semata wayang hari ini tidak melakukan aktifitasnya. Mungkin karena sampah yang ada di tempat pembuangan di sekitar pusat kota itu sudah bersih, jadi harus menunggu beberapa hari lagi untuk terisi kembali. Memang pusat kota dipenuhi dengan berbagai macam orang, jadi sampah pun diminati oleh sebagian anak-anak kecil yang harus mengakhiri masa sekolah mereka untuk membantu orang tua mereka, bahkan kakek tua pun kadang masih dilihat berkeliaran sambil memegang kantong kecil mereka walaupun hanya diisi dengan beberapa gelas kecil yang jika ditimbang kadang tidak smpai dua kilo, dan biasa dihargai dengan satu mangkuk bubur kacang hijau. Berbicara kesejahteraan seperti masih ada ketimpangan, sejahtera seyogiahnya hanya mampu dinikmati oleh golongan menengah ke atas, bagaimana dengan menengah ke bawah? Semua mereka merasakan kesejahteraan dalam pikiran lamunan saja. Setiap sore mereka hanya mampu duduk sendiri di sotoh rumah sambil berpikir tentang bagaimana sejahtera di esok hari. Janji sejahtera hanya dirasakan lima tahun sekali ketika masa pemilihan, dan jika akhir memilih masa sejahtera itu akan sirna termakan oleh angin malam. Jurus-jurus hipnotis warga untuk memilih memang berhasil, tapi janji– hanya tinggal janji. Tetap rakyat harus berteriak sendiri, namun apa daya rakyat harus memilih karna jika tidak memilih bisa dimusuhi dan bahkan akan berdampak lebih buruk lagi. Sore ini kakek tua itu kembali dengan tergopoh-gopoh, mungkin karena faktor usia atau mungkin karena beban keluarga yang harus ia pikul, dari kejauhan si istri telah menunggu di depan sotoh gubuk itu. Duduk seperti seorang ibu muda sambil memandang kejauhan di ujung jalan itu, melepas harapan. Entah apa yang ia pikirkan. Semua itu dilihat dari wajahnya, dan mulut yang sering bergerak melafaskan kalimat-kalimat harapan, yaaa... mungkin kalimat harapan. Hari ini begitu cepat berputar, tanpa disadari usia semakin bertambah diikuti dengan harapan yang semakin terkubur, karna telah dimakan oleh mereka yang memegang kepentingan. Dari tanah, rumah, pohon, air, dan masih banyak yang lainnya bahkan nyawapun mereka ingin untuk mengambilnya demi keuntungan pribadi, yang sebenarnya berbicara nyawa, itu adalah kepemilikan Yang Maha Kuasa. Gubuk itu menjadi titik akhir perjalan hidup, ketika sore memanggil dan bahagia itu kembali terasa, disaat langkah kaki disambut dengan senyum dari sosok penghuni rumah. Dan sotoh depan rumah itu menjadi saksi nyata kebahagiaan itu. Malam memanggil begitu cepat seakan tak ingin melihat penderitaan siang memainkan perannya. Suara binatang malam begitu nyaring, seakan ingin mengucapkan selamat datang penjelajah hidup. Selamat beristiahat dari lelahmu, aku hadir untuk menghiburmu. Yaaa.... Mungkin itu yang dibisikan dari lantunan suara binatang malam. Sebuat tempat nasi ditaruh di atas tikar anyaman daun lontar, senyum kembali terlihat di wajah-wajah tua itu, anaknya duduk seperti biasa di ujung tikar itu, sedang ibu dan ayahnya duduk bersampingan. Diluar semakin banyak binatang malam mengeluarkan suara mereka, membuat suasana terasa begitu romantis. Mecicipi makanan malam itu dengan bahagia, sembil melepas lelah dengan bercerita akan apa yang dikerjakan selama satu hari. Malam semakin larut, harapan semakin dekat dalam mimpi, cerita malam itu diakhiri dengan sebuah harapan jika esok hari ada Kuasa dari Ilahi membentengi kehidupan mereka. Semakin hari penguasa selalu berpikir tentang kekuasaan. Menindas, memeras, dan masih banyak kekuasaan yang memihak pada kepentingan mandiri, membuat tenggorokan telah kering untuk bercerita tentang kepentingan itu. Semua telah tidur, kakek itu masih duduk, sudah lama mereka merasakan penderitaan ini, beberapa bulan kemudian akan diadakan pemilihan pemimpin daerah. Sudah banyak yang mempromosikan kreatifitasnya untuk membangun daerah. Dari mensejahterakan hingga membasmi segala bentuk penindasan warga. Kakek itu masih berpikir lama, entah apa yang ia pikirkan, disampingnya segelas kopi hangat buatan sang istri menemaninya malam itu. Dilihat dari wajahnya, yang sangat serius itu, menandakan jika ia sedang berpikir untuk kelangsungan hidup keluarga kecilnya. Atau entah apa yang ia pikirkan. Sudah bertahun tahun ia menghidupi keluarganya dengan tabah, janji demi janji telah ia lewati oleh petinggi Negara yang awalnya mereka datang dengan beribu janji manis yang keluar dari bibir manis mereka, namun buktinya itu hanya pemanis kata agar menghipnotis warga untuk memilih mereka. Para penndukung berjalan berkilo-kilo memperjuangkan aspirasi dari sosok pendukung mereka, yang akhirnya jika ia terpilih, tak pernah ia datang untuk melihat pejuang suara yang telah mendudukan dia di kursi empuk itu. Malah meraka lebih menderita dari kebijakan bohong yang pernah dikeluarkan dari bibir manis itu. Tidak dipungkiri lagi memang kenyataan yang terjadi membuat suatu kelonggaran di hati masyarakat untuk cepat mempercayai setiap janji manis itu. Sudah cukup menderita masyarakat menikmati janji manis itu. Yahh itu yang mungkin kakek tua itu pikirkan... Malam ini terasa sangat pendek untuk bermimpi tentang angan, angan yang sudah termakan oleh zaman yang begitu bengis. Sedang fajar harapan harus memanggil bangun kaum pemimpi, untuk kembali bermain dengan permainan zaman. Bekerja dan menikmati keringat sendiri, itu adalah salah satu hal yang sederhana yang sering dilakukan oleh rakyat. Dari pada menggantungkan harapan pada janji-janji manis itu yang sering berakhir dengan kebohongan. Lelaki Desa Dan Cinta Hari ini sedikit berawan, suasana pagi diselimuti dengan angin membuatnya semakin dingin. Memang itu yang sering dirasakan oleh penduduk desa. Dari anak anak hingga orang tua sudahlah menjadi kebiasaan di setiap pagi tubuh mereka diselimuti dengan sehelai kain panjang yang menutupi hampir sekujur tubuh. Orang-orang desa tersebut sangatlah ramah, mungkin karena melihat wajah– wajah baru di kampung itu. Perjalanan yang begitu memakan waktu membuat kami sedikit kelelahahan, namun ketika pertama kali melihat wajah-wajah lugu masyarakat desa membuat kami langsung bersemangat untuk bercengkrama dengan suasana pagi itu. Pagi memanggil begitu cepat, sang surya mulai menampakan wajahnya diufuk timur dengan warna khasnya. Sedikit aktifitas mulai terasa, anak anak mulai berkeliaran kesana kemari sambil memegang sebuah ember, yaa, memang kebiasaan desa tersebut disetiap pagi selalu mereka berombongan menuju sebuah sumber mata air di lereng bukit itu. Sedangkan bapak bapak sudah mulai sibuk dengan teman kebunnya, sebuah besi pelat yang biasa digunakan untuk mencabut rumput di ladang. Sedangkan, ibu-ibu rumah tangga sudah mulai asik dengan masakannya di dapur kecil berbentuk bulat yang begitu khas hampir di setiap daerah di desa tersebut Desa tersebut agak sedikit diatas sebuah lereng bukit yang indah sehingga pemandangannya memang begitu memukau hati, padang-padang yang begitu indah dimana tempat ternak peliharaan maasyarakat bermain sambil memcicipi rumput segar. Dari kejauhan nampak segerombolan kambing-kambing berjejer keluar dari kandang dan dituntun oleh seorang anak separu baya, mungkin umurnya sekitar belasan tahun, yaaaa mungkin dua belas atau tiga belas. Sedang nampak pula seorang perempuan remaja sedang menjunjung sebuah ember besar, inilah kebiasaan para remaja perempuan di setiap pagi membawa ember besar berisikan air dan dijujung di atas kepala mereka. Mungkin itu salah satu cara bagaimana mereka sangat taat pada suruhan orang tua mereka. Disamping jalan, tumbuhan-tumbuhan tinggi yang menjadi pagar indah untuk setia rumah berjejeran rapi membuat sebuah kumpulan besar, hal itu sengaja dibuat masyarakat untuk sedikit menutupi angin ketika berhembus sehinggga membuat suasana tidak terlalu dingin. Anak perempuan remaja itu berhenti di sebuah rumah dimana sepertinya rumah itulah yang akan kami kunjungi. Dengan perlahan anak perempuan itu menurunkan ember yang berada tepat di atas kepalanya lalu membawa ke sebuah bak kecil terbuat dari tanah liat, tempat itu biasanya digunakan untuk menampung air sebagai keperluan untuk memasak, lalu dengan senyuman yang begitu ramah menyambut kedatangan kami.anak itu segera bergegas dengan cepat membuka pintu rumah yang terbuat dari pohon jati, “Silahkan pak, silahkan masuk” lalu dengan ramah anak itu meminta pamit menuju bagian belakang rumah itu, disitulah rasa ini mulai tumbuh sebuah pertemuan sederhana membawa untuk bercinta dengan angan, H Jelang beberapa menit, seorang bapak berusia kurang lebih empat pulahan tahun datang menghampiri kami. Wajah sedikit geram, mungkin karena kumis yang menutupi wajah dengan warna kulut yang sangat berbeda dengan kami dan mungkin karena kami baru pertama kali betatapan dengan wajah seperti itu. Serentak kami langsung mengucapkan selamat pagi dan langsung memberitahu maksud dan tujuan kedatangan kami. Dengan suara yang khas bapak itu mulai pembicaraannya. “bapak sudah mengetahui kedatangan adik-adik , kemarin bapak kepala desa sudah memberitahu bapak”. Lalu kami membuka percakapan. Jelang beberapa saat anak perempuannya membawa keluar beberapa gelas berisi air minum sesuai jumlah kami. Anak itu langsung meletakannya persis di depan kami. Di sebuah meja kayu yang sedikit lebih rendah dari tempat duduk kami. Senyuman khas yang diberikan kepada kami seperti awal pertama bertemu beberapa menit yang lalu membuat suasana begitu hangat. Lalu ia kembali ke belakang rumah tersebut. “silahkan diminum” kata bapak itu. Awalnya kami sedikit malu-malu namun dilanjutkan dengan sebuah kalimat “jangan malu, anggap saja untuk beberapa waktu kedepan inilah rumah kalian”. Dengan sentak kami tersenyum lalu mencicipi hidangan minuman pagi itu. Sedikit pahit dan manis, air yang dibawa itu. Teman teman saya berbisik dan bertanya tentang hidangan pagi itu. Mungkin karena didengan oleh bapak itu, lalu bapak itu mulai bercerita. “inilah minuman khas kami disetiap pagi, dan sering disugukan kepada setiap tamu yang datang”. Bapak itu melanjutkan “minuman ini adalah kopi dengan diberikan sedikit gula untuk merendahkan kadar pahitnya” hal ini bisa membuat kita bersemangat dalam beraktifitas.. Kami setak menganggukan kepala dan menruskan minuman yang telah disuguhkan. Setelah selesai kami langsung meminta ijin untuk meletakan barang-barang yang dibawa. Dua buah ruangan kecil dengan sebuah lemari dan tempat tidur sudah disiapkan di kamar tersebut. Ditata begitu rapi dengan diberikan sedikit balutan keharuman membuat seakan akan kami berada di kamar pengantin baru. Hal ini mungkin dilakukan oleh perempuan itu, sebuah bisikan dalam benakku. Yang menjadi racun untuk mengenalnya dan membagi perasaan ini. Siang menjemput lebih cepat, tak searah dengan lamunanku, teman-temanku sudah mulai dengan aktifitasnya, menyiapkan bahan dan alat alat untuk dibawakan nanti di balai desa. Aku bangun dari dudukku di kamarku itu dan bergegas ke kamar kecil yang berada tak jauh dari rumah itu, persis di belakang rumah itu.Sedang ketika aku keluar, kudapati gadis itu sedang menyiapkan makan siang, tangan mungil itu memainkan sebatang pisau di atas tumpukan sayur yang baru diambil dari ladang sebelah rumah. Aku menyempatkan diri untuk bertaya kecil. “dimana kamar kecil?” dengan sedikit membungkun ia memalingkan tangan dan pandangannya di samping rumah itu, tak berpikir lagi mataku juga menatap sesuai arah tunjuk perempuan itu. “ohh iya,terimakasih”. Akupun bergegas menuju kamar kecil itu, sedang ia melanjutkan pekerjaan nya itu. Pertemuan awal di desa yang membuat benih cinta mulai bertumbuh. Aku segera bergegas keluar dan mendapatkan perempuan itu masih asik dengan permainan tangnnya di tumpukan sayur itu. Sedikit aku menghampirinya dan bertanya malu, “adek sudah selesai sekolah?” ia menjawab dengan sedikit menunduk “ ia kaka” akupun melanjutkan percakapanku dengan berbagai pertanyaan, namun dengan lugas ia menjawab semua pertanyaanku sembari memberi senyum yang begitu khas, sebuah lesung pipi mengiasi pipi indah itu dengan rambut yang terurai sampai di bawah bahunya, dimana kadang ia menyapu rambutnya dikala menutupi arah pandangnya ketika menunduk. Sebuah keindahan Nampak dari wajah ayu itu. Aku meminta pamit dan bergegas menuju sahabat-sahabatku yang sudah menunggu di depan rumah itu. Kamipun menanjutkan perjalanan menuju balai desa yang tidak jauh dari rumah tempat penginapan kami. Sambutan hangat dari warga di balai desa melihat kedatangan kami menambah kegembiraan, senyuman khas dari warga desa tersebut membuat suasana seperti berada di keluarga sendiri. Aku sebernanya ingin kehadiran kami siang ini di balai desa tersebut dihadiri oleh perempuan itu, perempuan yang berada di tempat penginapan kami, ahhh pikirku, “seandainya tadi aku mengajaknya untuk ikut pastilah dia hadir”. Namun aku juga berpikir bawa tadi dia sedang menyiapakan makan siang, mungkin untuk kami. Kegiatan dimulai dengan begitu ramai. Sambutam masyarakat untuk mendengar apa yang akan kami bawakan begitu memukau. Hal itu dilihat dari keseriusan raut wajah mereka ketika kami memaparkan materi. Kulirik jarum jamku menunjukan pukul tiga lewat beberapa menit. Mungkin beberapa menit kemudian kami akan mengakhiri perjumpaan di hari pertama kegiatan kami di desa tersebut. Jelang beberapa menit kamipun mengakhiri kegiatan itu. Tepuk tangan yang meriah menyambut kami diruangan balai desa itu. Lalu anak anak dan masyarakat keluar dan memberi salam kepada kami sembari melanjutkan perjalannya kerumah masing masing. Memang ada beberapa orang tua yang berhenti sejenak untuk berbincang-bincang dengan kami. Menayakan aktivitas kami, menanyakan sekolah kami dan masih banyak lagi pertayaan yang diberikan. Setekah selesai perbincangan itu, kamipun melanjutkan perjalanan menuju tempat penginapan, hal ini yang menjadi semangatku, karna pasti akan berjumpa dengan senyuman manis yang sudah siap menerima kami di rumah itu. Jalan yang sedikit berbatu-batu, kata bapak tadi di penginapan ketika bercerita. Katanya jalan di depan rumah itu adalah swadaya masyarakat dengan dibantu oleh dana desa yang diberikan oleh pemerintah. Sesampainya dirumah kamipun langsung bergegas menuju kamar kami masing- masing. Sedang aku langsung bergegas menuju ruangan belakang untuk melihat aktivitas perempuan itu. Yahhh seperti biasa perempuan itu telah selesai menyiapkan makan siang untuk kami, dari jauh kulihat dia sedang membersihkan sisa sisa pekerjaannya siang itu. Aku segera bergegas membatu dengan memberi sedikit pertanyaan pembuka. “biar aku bantu?” “yaaa ia kaka”. Sebuah ucapan manis keluar dari bibir indah itu. Segera ku dengan gesit membatu untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Kamipun berhenti sejenak sambil bercerita kecil. Awal pertemua dan disitulah sepucuk cinta mulai berkembang. Jelang beberapa menit kemudian kami disuguhi dengan makan siang itu. Sayur dengan sedikit dibaluti dengan beberapa menu indah terpapar di depan kami. Sore menjemput, aku bergegas keluar dan mendampingi perempuan itu untuk segera bergegas menuju sebuah sumur kecil di bawal lereng bukit itu, hal itu aku lakukan karna sebelun kami makan siang itu telah kami bincangkan untuk mendampinginya melihat sumur tempat mereka menimbah air untuk keperluan sehari hari. Aku memegang sebuah ember kecil sedang dia memegang sebuah ember pula, kami berjalan sambil bercerita. Awalnya aku sedikit bingung untuk memulai cerita, karena melihat kepolosannya dan kecantikannya belum lagi sosok kecantikannya dibaluti dengan sebuah kain panjang, belum lagi keindahan rambutnya yang terurai hingga sedikit menyetuh pinggang membuat aku kehabisan bahasa untuk mengukir tetang kecantikannya. Dengan gesitnya ember-ember sudah dipenuhi dengan air dan siap untuk dibawah. Memang ada sedikit timbul rasa suka, yahhh mungkin karna aku juga sudah beranjak dewasa namun sulit untuk aku ungkapkan perasaan ini. Atau mungkin juga perasaan sama yang dia rasakan. Kamipun berhenti sejenak sambil bercakap-cakap kecil. “kau hebat” spontan kalimat itu keluar dari bibirku. Diapun tertunduk sedikit malu, atau mungkin aku orang yang pertama mengungkapkan kalimat itu. “terimakasih kak” sebuah ungkapan yang menyejukan hati keluar dari bibir manisnya. Akupun melanjutkan percakapan. “laki-laki dikampung ini akan sangat bahagia mendapatkan seorang perempuan seperti kamu”. Dia masih tertunduk seperti biasanya. Dibibirnya ingin ia berkata tak jelang beberapa detik sebuah kalimat keluar dari bibir manisnya.“aku masih dilarang dan tidak diperbolehkan oleh orang tuaku. Kebiasaan dikampung kami jika seorang perempuan yang siap untuk dipinang harus mampu bekerja seperi seorang perempuan dewasa yaitu mampu menenun kain seperti yang aku pakai sekarang, belum lagi harus sudah mampu mengurus rumah tangga”. Aku sentak sedikit kaget, dalam pikiranku kok susah yahhh seorang perempuan jika ingin menikah. Karna jika dilihat dari kacamata modern seorang perempuan yang jika sudah dewasa pastilah akan segera mengakhiri kesendiriannya, dengan memilih seorang pendamping untuk setia mendampinginya. Belum lagi saat ini jika kita lihat banyak terjadi pernikahan dini. Dan kadang hal tersebut sudahlah menjadi hal yang biasa. Dua bulan penuh kami berada di desa tersebut, dan kali ini memang waktu seperti tak memihak, itulah perasaan yang aku alami. Pagi menjemput dengan cepat, di langit awan hitam menumpuk dan saling menindih, mungkin alam juga merasa sedih karena harus kami tinggalkan desa itu. Angin seakan berhenti bercengkrama dengan pohon-pohon. Dan seperti biasa aku masih melihat anak-anak ditemani dengan jerigen, adapula membawa ember. Ada yang duduk di depan rumah sambil menikmati kesejukan pagi. Burung-burung bersiul memberi irama selamat berpisah Aku duduk dan melihat kebelakang rumah itu, duduk sosok perempuan cantik yang sering aku gombali. Perempuan cantik itu duduk dengan kepala sedikit tertunduk, dan kadang ia memalingkan wajahnya pada kami. Mungkin ia bersedih, atau apa yang ada dalam gumpalan otak kecilnya. Aku bisa membaca apa yang sedang ia pikirkan. Pastilah ia sedih jika akhirnya kami harus berpisah, aku mencintai dia namun disamping itu aku juga harus kembali ke kota untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah aku embani. Mobil yang kami tumpangi sedikit demi sedikit meninggalkan bekas dijalan kampung itu. Wajah wajah sedih terasa sangat nampak dari kami dan masyarakat desa itu. Dan akhirnya mobil yang kami tumpangi menghilang dimakan oleh pepohonan yang berjejer di tepi jalan. Cinta dan pengorbanan merupakan salah satu hal yang tak bisa dipisahkan, mengenalmu dan membagi rasa bersama merupakan bagian yang terindah dalam hidupku. Jika memang akan berakhir dengan perpisahan, itu adalah ujian untuk membentuk kita lebih matang dalam bercinta. Sebuah harapan yang saling diukirkan dalam angan membuat hati ini seakan tak ingin lagi untuk berpisah. Dalam benak ini jika ingin berpikir tentang kata pisah, seakan jantung ini tak tahan untuk merasakannya. Mungkin inikah yang dinamakan cinta. Dalam perjalanan seakan sangat berat untuk aku balikan wajah ini karna semakin aku mengantuk seakan wajahnya hadir dengan senyuman yang khas menghiasi bola mata ini.berapa lama lagi aku ahrus melupakan kenagan ini, mungkin waktu akan bermain dan menjawab semuanya, namun dari pertemuan sederhana ini aku dapat menemukan arti cinta dan memiliki sebenarnya. Bulan berlalu begitu cepat, suasana perkotaan yang membuat hati seakan tak tenang jika harus keluar dan melepas penat. Jalanan dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki kesibukannya masing masing. Tak ada burung yang berkicau hari itu, mungkin mereka takut dengan kebisingan atau karna sengatan terik matahari yang membakar kulit. Aku duduk di depan teras rumahku sambil memandang kejauh. Dipersimpangan jalan duduk anak anak kecil memegang tumpukan kertas berisi berita semalam. Mereka berlari mendekati mobil mobil sambil meyodorkan lembaran lembaran koran dengan harapan ada yang akan membelinya, memang ada yang dengan iba membeli koran koran itu, adapula yang hanya memandang kedepan dan tak mengiraukan anak anak itu. Dalam benakku masih dimainkan dengan suasana kampung dan perempuan desa itu, sosok yang masih merasuki pikiran ini, menyelip diantara saraf-saraf otakku dan memakan sebagian pikiranku. Walau kadang dengan kesibukanku aku sedikit melupakan bayangnya. Terdengar dari dalam rumah, ada suara yang memanggilku rupanya ibuku sudah tahu isi hatiku. Tersentak lamunanku berakhir dan aku lekas menuju suara yang tak asing lagi dikupingku ini. “kamu melamun yaaa, Tanya ibuku” tidak ibu, suaraku sedikit berubah seperti ingin meyakinkan ibuku jika tidak ada yagn sedang aku pikirkan. “ibu bisa melihat dari wajahmu” dia melanjutkan, pasti sedang memikirkan desa itu, iakan??. Ahh ibu seperti tahu saja, aku kan sudah dewasa, “lohh ibukan tidak berbicara tentang dewasa, sambil memalingkan senyum padaku penuh arti. Akupun segera menceritakan apa yang aku alami di desa tersebut. Jelang beberapa menit, dari diskusi singkatku itu, terdengan ketukan pintu, akupun bergegas menuju pintu untuk membuka dan mliat siapa yang sedang datang. Rupanya ayahku sudah kembali dari kantor. Akupun bergegas menuju kamarku dan melanjutkan lamunanku. Keseruan sore ini bersama dengan ibuku membuat aku semakin mengingat kampong kecil itu, dan perempuan desa itu. Kuteruskan lamunanku hingga tak sadar matahari sudah bersembunyi di ufuk barat, suara binatang-binatang malam mulai terdengar, lampu-lampu taman menghiasi rumah mungilku. Tak ada lagi kesibukan yang aku lihat. Jalan jalan telah sepi yang tinggal hanya anganku yang masi terbang dan tak bisa aku raih. Inilah kisahku, lelaki desa dan cinta. PERJUANGAN SANG ANAK DESA Aku seorang lelaki yang sudah dewasa, awal perjuanganku adalah ketika aku berpikir untuk melanjutkan pendidikanku di bangku SMA, kehidupan keluargaku sangat sederhana hal ini yang membuatku untuk berjuang bangkit dari kesederhanaan itu agar nantinya melalui perjuangan ini, akan menjadi salah satu kebanggaan besar dari keluargaku. Berpikir sekolah kadang menjadi sebuah pergumulan besar, hingga suatu waktu, kedatangan mama kecilku membawa cahaya baru bagi anganku. Dibangku SMA aku dibiayai oleh mama kecilku, sehingga menjadi sebuah rutinitas tak kenal waktu, keseharianku kulimpahkan untuk membantunya. Mungkin dengan cara sedehana ini yang akan membangkitkan semangatnya untuk terus membiayaiku bersekolah Ketika pulang dari sekolah, aku harus bekerja di tempat usaha mama kecilku, sebuah toko kecil berisikan keperluan sehari-hari, hingga sore barulah aku diijinkan untuk kembali ke rumah. Hal itu aku lakukan setiap hari sejak aku dibangku SMA. Tak ada masa bagiku untuk duduk nongkrong seperti anak-anak seusiaku, berkumpul dengan teman sebaya, bercerita, berjalan-jalan, berbagi pengalaman, ataupun hal hal apa saja yang berkaitan dengan laki-laki seusiaku. Tempatku hanyalah sebuah toko kecil, sering berbicara dengan harga, melayani pelanggan yang kadang membosankan, terigu, beras, mantega, dan masih banyak lainnya yang menjadi sahabat curhatku. Tak ada pilihan lain karna jika tidak demikian maka impianku untuk bersekolah bisa sirna. Berbicara cinta memang semua orang pasti memiliki kisahnya masing-masing, akupun memilikinya. Kisah cintaku dimulai ketika aku beranjak kuliah, memang waktu masih SMA aku pernah mencintai seorang perempuan cantik di desaku, seorang perempuan manis, wajah yang ayu diselimuti dengan senyuman yang indah, rambutnya terurai di bawah pundaknya membuat kecantikannya semakin sempurna. Komunikasi kami tak seperti yang sering anak anak seusiaku lakukan, berjakan bersama, bergandengan tangan, makan bersama di kantin sekolah, ditraktir ataupun mentraktir dan masih banyak lainnya. Sebuah alat komunikasi kecil yang aku pegang itulah yang menjadi sarana percintaan kami, berbagi pesan via alat komunikasi itu sudahlah cukup untuk mengubur rasa cintaku, membaca balasannya sudah menjadi kebahagiaan besarku, belum lagi jika mendengar suaranya, seakan aku sedang diterbangkan dalam rindu, dan bertemu di awan-awan, memang lembut suaranya ketika berbicara membawa suasana cinta itu terasa, dan bahagia bisa dinikmati. Dia bersekolah pula di sekolahku, namun untuk bertemu seakan ada tembok besar yang menutupi langkahku, karna memang aku tak bisa berkata-kata jika bertemu, seperti biasa yang kuberi hanyalah senyuman khasku, dan itu sudah menjadi bahagiaku. Yahhh, bahagia terbesarku saling berbalas senyum. Waktu berlalu begitu cepat, penghujung impianku sudah nampak, mungkin ini akan menjadi sebuah kisah yang tak akan aku lupakan. Melepaskan cinta untuk mencari kebahagiaan, karena aku sadar jika untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi akan terasa susah bagiku, sedangkan dia, dia masih memiliki impian yang harus diraih, kerelaan ini A haruslah menjadi pilihan bagiku dan bagi kebahagiaan bersama. Memang cinta tak selamanya harus menyatu. Sejak aku mendengar kelulusanku, pikiranku sudah mulai hadir untuk pergi jauh mencari kehidupan yang lebih layak. Seperti merantau mungkin itu kata kerennya. Pertemuan terakhirku di sudut kelas itu, tempat yang biasanya kami berpapasan dengan senyuman, ketika senyuman saling menyapa memberi keindahan tersendiri. Dan kali ini tempat itulah yang akan menjadi saksi pula bahwa senyum itu akan berakhir dan mungkin untuk selamanya. Kudekati dia dan kucoba untuk lebih dahulu membuka percakapan, “kita sudah megakhiri perjuangan setelah tiga tahun” sebuah perjuangan yang panjang, lanjutku. Dan hari ini, aku ingin memberikan sebuah kalimat yang memang akut tak ingin katakana, namun harus aku katakan karena memang kita memiliki perbedaan. Aku akan pergi dan mungkin tak bisa untuk kembali lagi, aku ingin pergi mencari kehidupan yang lebih layak, ukan untuk melanjutkan kuliah, tapi mingkin untuk kerja, walau belum aku tahu apa yang akan aku kerjakan kelak. Tak seberapa yang aku ucapkan, terasa suara ini semkin tak bisa untuk aku berkata lagi, terlinang air mata di pipinya yang indah itu, sambil tertunduk entah apa yang ia pikirkan, mungkin kesedihan mendalam ketika aku mengungkapkankata perpisahan, atau mungkin ia berpikir jika kepergianku akan membawa duka yang mendalam di batinnya. Aku memang tak bisa untuk tidak mengungkapkan akan hal ini, karena bagiku, tak bisa untuk terus bertahan jika yang aku rasakan adalah hidup dibawah kekurangan dan kesederhanaan, bagaimana aku bisa membahagiakannya kelak? . Masa depannya masih sangat panjang, dan mungkin aku lelaki yang tak pantas untuk dicintai oleh dia yang memiliki segalanya. Hal hal inilah yang membuatku untuk secepatnya mengungkapkan apa yang telah aku pikirkan sebelumnya. Beberapa bulan kemudian sejak pertemuan itu, aku berusaha untuk melupakan dia, melupakan cinta ini, dan segala yang berkaitan dengan rindu dan harapan. Dan terakhir aku mendengarnya, dia telah pergi jauh untuk melanjutkan akan pendidikannnya. Akupun telah pergi jauh untuk mencari kehidupan. Sebuah lembaran baru dalam kehidupanku mulai ku ukirkan. Namun, tak seperti yang aku harapkan, tak seperti yang aku pikirkan, kejenuhan demi kejenuhan mulai aku rasakan, semenjak hari pertama aku menginjakan kaki di tanah rantauan, hingga disuatu hari aku berpikir untuk kembali. Tak sampai setengah tahun aku berada di tanah rantauan akhirnya kuputuskan untuk menghubungi orang tuaku. Dan dengan cepat urangtuaku mengirimkanku ongkos untuk emninggalkan tanah rantauan. Memang kasih sayang sosok orangtua tak pernah lepas dari diriku. Gambaran penuh kesabaran dari mereka membuatku harus lebih berpikir untuk membahagiakan mereka. Semenjak kepulanganku, beberapa bulan aku berada di kampung halamanku, kembali aku bekerja di tempat yang menampungku untuk bersekolah waktu itu. Sambil memikirkan apa yang akan aku lakukan kedeapan, setiap sore ketika aku kembali ddari tempat kerjaku, selalu orangtuaku menasihati saya untuk melanjutkan pendidikan saya, ada beberapa hal yang aku inginkan ketika nantinya harus berkulia, memilih jurusan yagn aku inginkan, dan memilih jurusan yang orangtua inginkan, Dua pilihan yang membuatku untuk berpikir dan mengambil keputusan. Orantuaku menginginkanku untuk memilih jurusan yang nantinya bisa cepat kerja, dan hal itu memang diambil orangtuaku karena mungkin mereka berpikir bahwa aku harus menjadi pribadi yang nantina membanggakan keluarkaku kelak. Dikampungku, berpikir menjadi guru memang suatu hal yang sangat diidam-idamkan oleh hamper seluruh masyarakat desa, mungkin bagi mereka sebuah pekerjaan yang sangat mulia, atau entah apa yang mereka pikirkan. Dan akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti apa yang dikatakan oleh orangtuaku, berbekal ijasah SMA aku mencoba meninggalkan keharmonisan keluargaku untuk pergi jauh meneruskan pendidikanku. Di kota provinsi tempat yang paling tepat untuk melanjutkan pendidikanku. Karena memang hanya ada di kotalah pendidikan bisa untuk didapati. Perbincangan malam terakhir di kampungku membuahkan hasil. Melanjutkan pendidikan mungkin hal yang tepat untuk mengangkat derajat keluargaku. Sehingga tak ada pilihan lain yaa,,,, memang tak ada pilihan lain. Hari berlalu begitu cepat beberapa minggu kemudian sejak pertemuan malam itu akhirnya aku harus bertolak ke kota provinsi. Rasanya tak ingin berpisah dengan keluarga kecilku yang telah membesarkan aku dengan penuh sabar, namun disamping itu, aku juga berpikir jika ada beban keluarga yang aku pikul saat ini, penguatan dan pesan malam itu membuat aku semakin yakin untuk melanjutkan perjuangan ini dengan lebih giat lagi. Hari ini, matahari begitu menyengat ketika menyentuh ubun-ubunku padahal waktu masih menunjukan pukul Sembilan lewat beberapa menit. Jelang beberapa saat, aku akan meninggalkan tempat kelahiranku, ayah dan beberapa kakakku sudah sibung mengurus keberangkatanku, disamping kesibukan mereka, masih saja mereka menyisipkan pesan-pesan pendek padaku. Sebuah kover kecil dan beberapa gardus menumpuk di depan rumahku, tas kecil yang akan menempel di pundakku diisi dengan bekal perjalanan. Mungkin mereka buat agar ketika dalam perjalanan dan perutku meminta untuk diisi,tak perlu aku membuang uang untuk membeli lagi. Ibuku masih duduk di pojok rumah sejak pagi tadi. Mungkin apa yang ia sedang pikirkan, tapi aku tak ingin mengganggunya, pikirku waktu keberangkatan barulah aku mendekat dan meminta pamit sekaligus bingkisan doa darinya. Kulirik dibalik kain pintu, ibuku sedang menatap jauh. Sesekali tangan kanannya menyapu keningnya, “ahh ibuku menangis lagi” pikirku. “bagaimana aku harus pergi, karna bagiku, hal hal seperti ini akan membuat langkah kakiku terasa berat uttuk meninggalkan halaman rumah ini. Ibu, aku tak bisa melangkah keluar jika kesedihan masih aku lihat, aku segera bergegas menuju kamarku dan langsung duduk di pinggir kasurku dan meneteskan air mata. Namun aku tak ingin mereka melihatku bersedih.. jelang beberapa menit suara meanggilku dari depan rumah.