MEDAN | BERITA A1
Tindak pidana pada tahapan pemilihan kepala daerah juga bagian dari tindak pidana yang diatur dalam rezim hukum pidana, tetapi mengingat asas “lex specialis derogat legi generali” (hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum), maka dalam penegakan hukumnya harus merujuk (berpedoman) pada aturan hukum yang terkait dengan masalah pemilihan kepala daerah, yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota juncto Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang, yang kemudian telah mengalami perubahan melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang.
Tahun 2016, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 kembali mengalami perubahan dengan terbitnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang. Selanjutnya pada tahun 2020 diubah kembali melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang dan telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 (berikut perubahannya), tidak ada memberikan pengertian terhadap istilah tindak pidana pada pemilihan kepala daerah, tetapi dapat dimaklumi bahwa istilah tindak pidana pada pemilihan kepala daerah diperuntukkan bagi tindak pidana yang terjadi dalam atau berhubungan dengan pelaksanaan setiap tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota). Secara yuridis formil, pengertian tindak pidana pada pemilihan kepala daerah ini dapat merujuk kepada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan dan Pemilihan Umum. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa tindak pidana pemilihan adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-undang sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang.
Sesuai ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018, maka dapat dimaklumi bahwa Mahkamah Agung secara tegas membedakan antara “Tindak Pidana Pemilu” dengan “Tindak Pidana Pemilihan”, dan istilah “Tindak Pidana Pemilihan” ini tentunya terkait dengan tindak pidana dalam setiap tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota), yang terdiri dari tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018, maka dalam hal terjadinya tindak pidana pada tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota meneruskan laporan dugaan tindak pidana pemilihan kepala daerah kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia paling lama 1 x 24 jam (satu kali dua puluh empat jam), sejak Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota dan/atau Panwaslu Kecamatan menyatakan bahwa perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana pemilihan.
Ketentuan tersebut sesuai dengan Pasal 134 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015, yang menentukan bahwa Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS menerima laporan pelanggaran pemilihan pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan, sedangkan berdasarkan Pasal 135 ayat (1) ditentukan bahwa laporan pelanggaran pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1) yang merupakan: (a) pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan diteruskan oleh Bawaslu kepada DKPP; (b) pelanggaran administrasi pemilihan diteruskan kepada KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota; (c) sengketa pemilihan diselesaikan oleh Bawaslu; dan (d) tindak pidana pemilihan ditindaklanjuti oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Merujuk ketentuan yang terdapat pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015, maka dapat disimpulkan bahwa mekanisme pelaporan dugaan tindak pidana pada tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah, sebagai berikut:
- Laporan atas dugaan tindak pidana pada tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah, disampaikan oleh pelapor kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota dan/atau Panwaslu Kecamatan, dengan kata lain pelapor tidak dapat langsung membuat laporan atas dugaan tindak pidana pada tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
- Apabila berdasarkan laporan tersebut patut diduga dan terdapat bukti adanya tindak pidana pada tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah, maka Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota dan/atau Panwaslu Kecamatan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti dalam proses penegakan hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.